KAJIAN
MATERI UNTUK MENGANALISIS SEBUAH CERITA
Pengantar
Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya
sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan
yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra
berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu
atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda
dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra
merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan
dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada
atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri atas
a.
tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh,
b.
tema dan amanat,
c.
latar,
d.
alur,
e.
sudut pandang/gaya penceritaaan,
f.
gaya bahasa,
g.
amanat.
Berikut ini akan
dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut
TOKOH
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan
pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau perlakukan dalam berbagai
peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud
binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua
yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak
mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral
dibedakan menjadi dua, yaitu
a.
Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral
protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan
nilai-nilai pisitif.
b.
Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral
antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan
protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan
adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan
dibedakan menjadi tiga, yaitu
a.
Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah
tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau
antagonis).
b.
Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah
tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c.
Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah
tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu
a.
Tokoh datar/ sederhana/ pipih. Yaitu
tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini
bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah
sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b.
Tokoh bulat/ komplek/ bundar. Yaitu
tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak
mengalami perubahan watak.
PENOKOHAN
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a.
metode analitis/langsung/diskursif.
yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung;
b.
metode dramatik/taklangsung/ragaan.
yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh
yang disajikan pengarang. bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari
gambaran lingkungan atau tempat tokoh;
c.
metode kontekstual. yaitu penyajian watak
tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh,
yaitu
a.
melalui apa yang dibuatnya,
tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis;
b.
melalui ucapana-ucapannya. dari ucapan
kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan,
wanita atau pria, kasar atau halus;
c.
melalui penggambaran fisik tokoh;
d.
melalui pikiran-pikirannya;
e.
melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar
memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling
mendukung.
ALUR
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan
peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a.
berdasarkan urutan waktu terjadinya.
alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur
linear;
b.
berdasarkan hubungan kausalnya/sebab
akibat. alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal;
c.
berdasarkan tema cerita. alur
berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
STRUKTUR
ALUR
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya.
Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita.
Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita
adalah
a.
bagian awal
1.
paparan (exposition)
2.
rangkasangan (inciting moment)
3.
gawatan (rising action)
b.
bagian tengah
4.
tikaian (conflict)
5.
rumitan (complication)
6.
klimaks
c.
bagian akhir
7.
leraian (falling action)
8.
selesaian (denouement)
BAGIAN
AWAL ALUR
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya,
dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo.
Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu
kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in
medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan
dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam
cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu
ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan,
penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan
emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan.
Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan
(foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.
BAGIAN
TENGAH ALUR
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan
yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks
cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh
dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.
BAGIAN
AKHIR ALUR
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan
perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau
penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting
yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting
tersebut adalah
a.
faktor kebolehjadian (pausibility).
Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik
tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah
terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik
klimaks;
b.
faktor kejutan. Yaitu
peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh
pembaca;
c.
faktor kebetulan. Yaitu
peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau
variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita
menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau
digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak
berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang
dihadapi dalam cerita.
MACAM
ALUR
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur
mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya
sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah
rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur
yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat
dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a.
alur berdasarkan urutan waktu
b.
alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c.
alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang
beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu
episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain
yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita
yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah
rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga,
alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur
datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan
cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur
menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak
atau rumit.
LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi
penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan,
ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim,
lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
MACAM LATAR
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu
1.
Latar fisik/material. Latar fisik adalah
tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a.
Latar netral, yaitu latar fisik yang
tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b.
Latar spiritual, yaitu latar fisik yang
menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2.
Latar sosial. Latar sosial mencakup
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan,
cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
FUNGSI
LATAR
Ada beberapa
fungsi latar, antara lain
1.
memberikan informasi situasi sebagaimana
adanya
2.
memproyeksikan keadaan batin tokoh
3.
mencitkana suasana tertentu
4.
menciptakan kontras
TEMA DAN
AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut
tema. Ada beberapa macam tema, yaitu
a.
tema didaktis, yaitu tema pertentangan
antara kebaikan dan kejahatan;
b.
tema yang dinyatakan secara eksplisit;
c.
tema yang dinyatakan secara simbolik;
d.
tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh
utamanya.
Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain
a.
niat pribadi,
b.
selera pembaca,
c.
keinginan penerbit atau penguasa.
Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh
pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra.
Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna
muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun
cerita tersebut) disebut makna niatan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna aniatan kadang-kadang tidak sama
dengan makna muatan
a.
pengarang kurang pandai menjabarkan tema
yang dikehendakinya di dalam karyanya;
b.
beberapa pembaca berbeda pendapat tentang
gagasan dasar suatu karta.
Yang diutamakan
adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya
unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.
Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan.
Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian
peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang
mengiringi tema sentral.
Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh,
latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif.
Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat
disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau
pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara
eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran,
larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
POINT OF
VIEW
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan
pencerita orang ketiga.
1.
Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana
tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini
disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi
dua, yaitu
- pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan
di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut;
- pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita
akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita
tersebut.
2.
Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di
mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut
pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita
diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
- pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita
diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam
cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan
penilaian terhadap tokoh cerita.
- pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan
yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang
diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya
saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh
pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh
pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan
cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a.
sudut penglihatan yang berkuasa
(omniscient point of view). pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. ia
tahu segalanya;
b.
sudut penglihatan obyektif (objective
point of view). pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun.
pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang;
c.
point of view orang pertama. pengarang
sebagai pelaku cerita;
d.
point of view peninjau. pengarang
memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. seluruh kejadian kita ikuti
bersama tokoh ini.
Menurut Harry
Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a.
sudut pandang fisik. yaitu sudut pandang
yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam
mendekati materi cerita;
b.
sudut pandang mental. yaitu sudut
pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah
atau peristiwa yang diceritakannya;
c.
sudut pandang pribadi. adalah sudut
pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam
pokok masalah yang diceritakan. sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut
pandang impersonal (di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang.
Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang
merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan
merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a.
tokoh utama menyampaikan kisah dirinya;
b.
tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh
utama;
c.
pengarang pengamat menyampaikan kisah
dengan sorotan terutama kepada tokoh utama;
d.
pengarang serba tahu.
GAYA BAHASA
Gaya bahasa adalah cara
mengungkapkan perasaan atau pikiran dengan bahasa sedemikian rupa,
sehingga kesan dan efek terhadap pembaca atau pendengar dapat dicapai
semaksimal dan seintensif mungkin.
Berikut adalah berbagai ragam gaya bahasa dan contoh penggunaannya dalam Bahasa Indonesia.
I. GAYA BAHASA PENEGASAN
1. Alusio
Gaya bahasa yang menggunakan peribahasa yang maksudnya sudah dipahami umum.
Contoh :
Dalam bergaul hendaknya kau waspada.
Jangan terpedaya dengan apa yang kelihatan baik di luarnya saja.
Segala yang berkilau bukanlah berarti emas.
2. Antitesis
Gaya bahasa penegasan yang menggunakan paduan kata-kata yang artinya bertentangan.
Contoh :
Tinggi-rendah harga dirimu bukan elok tubuhmu yang menentukan, tetapi kelakuanmu.
3. Antiklimaks
Gaya bahasa penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin rendah tingkatannya.
Contoh :
Kakeknya, ayahnya, dia sendiri, anaknya dan sekarang cucunya tak luput dari penyakit keturunan itu.
4. Klimaks
Gaya bahasa penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin tinggi tingkatannya.
Contoh :
Di dusun-dusun, di desa-desa, di kota-kota, sampai ke ibu kota, hari proklamasi ini dirayakan dengan meriah.
5. Antonomasia
Gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata tertentu untuk menggantikan
nama seseorang. Kata-kata ini diambil dari sifat-sifat yang menonjol
yang dimiliki oleh orang yang dimaksud.
Contoh :
Si Pelit den Si Centil sedang bercanda di halaman rumah Si Jangkung.
6. Asindeton
Gaya bahasa penegasan yang menyebutkan beberapa hal berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh :
Buku tulis, buku bacaan, majalah, koran, surat-surat kantor semua dapat anda beli di toko itu.
7. Polisindeton
Gaya bahasa yang menyebutkan beberapa hat berturut-turut dengan menggunakan kata penghubung (kebalikan asindeton).
Contoh :
Buku tulis, majalah, dan surat-surat kantor dapat di beli di toko itu.
8. Elipsis
Gaya bahasa yang menggunakan kalimat elips (kalimat tak lengkap), yakni
kalimat yang predikat atau subjeknya dilesapkan karena dianggap sudah
diketahui oleh lawan bicara.
Contoh :
“Kalau belum jelas, akan saya jelaskan lagi.”
“Saya khawatir, jangan-jangan dia ….”
9. Eufemisme
Gaya bahasa atau ungkapan pelembut yang digunakan untuk tuntutan
tatakrama atau menghindari kata-kata pantang (pamali, tabu), atau
kata-kata yang kasar dan kurang sopan.
Contoh :
Putra Bapak tidak dapat naik kelas karena kurang mampu mengikuti pelajaran.
Pegawai yang terbukti melakukan korupsi akan dinonaktifkan.
10. Hiperbolisme
Gaya bahasa penegasan yang menyatakan sesuatu hal dengan melebih-lebihkan keadaan yang sebenarnya.
Contoh :
Suaranya mengguntur membelah angkasa.
Air matanya mengalir menganak sungai.
11. Interupsi
Gaya bahasa penegasan yang mempergunakan kata-kata atau frase yang disisipkan di tengah-tengah kalimat.
Contoh :
Saya, kalau bukan karena terpaksa, tak mau bertemu dengan dia lagi.
12. Inversi
Gaya bahasa dengan menggunakan kalimat inversi, yakni kalimat yang
predikatnya mendahului subjek. Hal ini sengaja dibuat untuk memberikan
ketegasan pada predikatnya.
Contoh :
Pergilah ia meninggalkan kampung halamannya untuk mencari harapan baru di kota.
13. Koreksio
Gaya bahasa yang menggunakan kata-kata pembetulan untuk mengoreksi (menggantikan kata yang dianggap salah).
Contoh :
Setelah acara ini selesai, silakan saudara-saudara
pulang. Eh, maaf, silakan saudara-saudara mencicipi hidangan yang telah
tersedia.
14. Metonimia
Gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata atau sebuah nama yang
berhubungan dengan suatu benda untuk menyebut benda yang dimaksud.
Misal, penyebutan yang didasarkan pada merek dagang, nama pabrik, nama
penemu, dun lain sebagainya.
Contoh :
Ayah pergi ke Bandung mengendarai Kijang.
Udin mengisap Gentong, Husni mengisap Gudang Garam.
15. Paralelisme
Gaya bahasa pengulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi. Pengulangan di bagian awal dinamakan anafora, sedang di bagian akhir disebut epifora.
Contoh
Anafora :
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Contoh Epifora :
Rinduku hanya untukmu
Cintaku hanya untukmu
Harapanku hanya untukmu
16. Pleonasme
Gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak
perlu karena artinya sudah terkandung dalam kata sebelumnya.
Contoh :
Benar! Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa Tono berkelahi di tempat itu.
Dia maju dua langkah ke depan.
17. Parafrase
Gaya bahasa penguraian dengan menggunakan ungkapan atau frase yang lebih panjang daripada kata semula. Misal, pagi-pagi digantikan ketika sang surya merekah di ufuk timur; materialistis diganti dengan gila harta benda.
Contoh :
”Pagi-pagi Ali pergi ke sawah.” dijadikan “Ketika
mentari membuka lembaran hari, anak sulung Pak Sastra itu melangkahkan
kakinya ke sawah.”
18. Repetisi
Gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang sebuah kata berturut-turut
dalam suatu wacana. Gaya bahasa jenis ini sering dipakai dalam pidato
atau karangan berbentuk prosa.
Contoh :
Harapan kita memang demikian, dan demikian pula harapan setiap pejuang.
Sekali merdeka, tetap merdeka!
19. Retoris
Gaya bahasa penegasan yang menggunakan kalimat tanya, tetapi sebenannya tidak bertanya.
Contoh :
Bukankah kebersihan adalah pangkal kesehatan?
Inikah yang kau namakan kerja?
20. Sinekdoke
Gaya bahasa ini terbagi menjadi dua yaitu : (a) Pars pro toto (gaya babasa yang menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan) dan (b) Totem pro parte (gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk menyatakan sebagian).
Contoh
Pars pro toto :
Setiap kepala diwajibkan membayar iuran Rp1.000,00.
Sudah lama ditunggu-tunggu, belum tampak juga batang hidungnya.
Contoh Totem pro parte :
Cina mengalahkan Indonesia dalam babak final perebutan Piala Thomas.
21. Tautologi
Gaya bahasa penegasan yang menggunakan kata-kata yang sama artinya dalam satu kalimat.
Contoh :
Engkau harus dan wajib mematuhi semua peraturan.
Harapan dan cita-citanya terlalu muluk.
II. GAYA BAHASA PEMBANDINGAN
1. Alegori
Gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua buah keutuhan berdasarkan persamaannya secara menyeluruh.
Contoh :
Kami semua berdoa, semoga dalam mengarungi samudra kehidupan ini, kamu berdua akan sanggup menghadapi badai dan gelombang.
2. Litotes
Gaya bahasa perbandingan yang menyatakan sesuatu dengan memperendah
derajat keadaan sebenarnya, atau yang menggunakan kata-kata yang artinya
berlawanan dari yang dimaksud untuk merendahkan diri.
Contoh :
Dari mana orang seperti saya ini mendapat uang untuk membeli barang semahal itu.
Silakan, jika kebetulan lewat, Saudara mampir ke pondok saya.
3. Metafora
Gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang berbeda berdasarkan persamaannya.
Contoh :
Gelombang demonstrasi melanda pemerintah orde lama.
Semangat juangnya berkobar, tak gentar menghadapi musuh.
4. Personifikasi atau Penginsanan
Gaya babasa perbandingan. Benda-benda mati atau benda-benda hidup selain
manusia dibandingkan dengan manusia, dianggap berwatak dan berperilaku
seperti manusia.
Contoh :
Bunyi lonceng memanggil-manggil siswa untuk segera masuk kelas.
Nyiur melambai-lambai di tepi pantai.
5. Simile
Gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan kata-kata pembanding
(seperti, laksana, bagaikan, penaka, ibarat, dan lain sebagainya) dengan
demikian pernyataan menjadi lebih jelas.
Contoh :
Hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam.
Wajahnya seperti rembulan.
6. Simbolik
Gaya bahasa kiasan dengan mempergunakan lambang-lambang atau simbol-simbol untuk menyatakan sesuatu. Misal, bunglon lambang manusia yang tidak jelas pendiriannya; lintah darat lambang manusia pemeras; kamboja lambang kematian.
Contoh :
Janganlah kau menjadi bunglon.
7. Tropen
Gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang maknanya sejajar dengan pengertian yang dimaksudkan.
Contoh :
Seharian ia berkubur di dalam kamarnya.
Bapak Presiden terbang ke Denpasar tadi pagi.
III. GAYA BAHASA PENENTANGAN
1. Anakronisme
Gaya bahasa yang mengandung uraian atau pernyataan yang tidak sesuai
dengan sejarah atau zaman tertentu. Misalnya menyebutkan sesuatu yang
belum ada pada suatu zaman.
Contoh :
Mahapatih Gadjah Mada menggempur pertahanan Sriwijaya dengan peluru kendali jarak menengah.
2. Kontradiksio in terminis
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan, yakni apa yang dikatakan terlebih dahulu diingkari oleh pernyataan yang kemudian.
Contoh :
Suasana sepi, tak ada seorang pun yang berbicara, hanya jam dinding yang terus kedengaran berdetak-detik.
3. Okupasi
Gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan dan penjelasan.
Contoh :
Sebelumnya dia sangat baik, tetapi sekarang menjadi berandal karena tidak ada perhatian dari orang tuanya.
Ali sebenarnya bukan anak yang cerdas, namun karena kerajinannya melebihi kawan sekolahnya, dia mendapat nilai paling tinggi.
4. Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung dua pernyataan yang bertentangan, yang membentuk satu kalimat.
Contoh :
Dengan kelemahannya, wanita mampu menundukkan pria.
Tikus mati kelaparan di lumbung padi yang penuh berisi.
IV. GAYA BAHASA SINDIRAN
1. Inuendo
Gaya bahasa sindiran yang mempergunakan pernyataan yang mengecilkan kenyataan sebenarnya.
Contoh :
la menjadi kaya raya lantaran mau sedikit korupsi.
2. Ironi
Gaya bahasa sindiran paling halus yang menggunakan kata-kata yang artinya justru sebaliknya dengan maksud pembicara.
Contoh :
”Eh, manis benar teh ini?” (maksudnya: pahit).
3. Sarkasme
Gaya bahasa sindiran yang menggunakan kata-kata yang kasar. Biasanya gaya bahasa ini dipakai untuk menyatakan amarah.
Contoh :
”Jangan coba-coba mengganggu adikku lagi, Monyet!”
“Dasar goblok! Sudah berkali-kali diberi tahu, tetap saja tidak mengerti!”
4. Sinisme
Gaya bahasa sindiran semacam ironi, tetapi agak lebih kasar.
Contoh :
”Hai, harum benar baumu? Tolong agak jauh sedikit!”
AMANAT
Amanat (pesan) ialah sesuatu yang disampaikan oleh seseorang kepada
orang lain. Penyampaian amanat (pesan) dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu cara lisan dan cara tulisan. Cara pertama, penyampai amanat
langsung berhadapan dengan penerima sebagai lawan bicara atau pendengar,
sedangkan cara kedua, penyampai amanat tidak berhadapan langsung dengan
penerima, tetapi menggunakan perantara/alat bantu ; dapat berupa cerita,
buku (fiksi dan nonfiksi).